Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2022

PUISI; BAGIMU NEGRI, BAGIKU NGERI

Bagimu negri Bagiku ngeri Kita melintang antara Sabang dan Merauke Kamu adalah ibu kota Sedang aku adalah pelosok desa Kamu adalah Banda Neira  Sedang aku adalah bandar limbah rumah tangga Bola matamu adalah senja pulau Dewata Senyummu adalah pelangi samudera Hindia  Hidungmu tinggi puncak Jaya Wijaya  Sedang alismu, adalah bibir Raja Ampat yang tertata Ibarat kata Kamu adalah pasundan Yang katanya Lahir saat Tuhan tersenyum Atau Kamu adalah Jogja Istimewa Yang katanya Terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan Bagimu negri Bagiku ngeri Kagumku adalah produk parlemen di negeri kita Jauh dari harapan Cintaku adalah hutan Kalimantan Akan lenyap, hangus, dan segera tenggelam Jogja, 20 Oktober 2022 Diikutsertakan dalam lomba sayembara puisi UMT 2022

PUISI; MALAM PANJANG

Malam itu adalah malam yang panjang Meneguk kopi sampai ampasnya Menghisap rokok hingga puntung tak ada Matanya adalah bulan sabit Namun ia paksakan layak bintang terus berkedip Esok dan esok-esoknya Ia akan menemui hari yang panjang Tidak muat dalam hitungan arloji Bahkan dentingan jarum lebih cepat dari buroq Muhammad Apalagi Asif yang diperintah Sulaiman membawa singgasana Dan ia Sedang bercengkrama dalam sunyi Sesekali berteriak, memaki, dan tiba tiba menangisi Sekali lagi, hanya dalam sunyi Ketika kantuk mengetuk pintu Ia benamkan kepalanya pada kapuk Sungguh ia tidak bisa tentram Meski hujan membawa nyanyian Rupanya Kepalanya sedang bergejolak Dan hatinya sedang beriak Tragisnya Keduanya juga bertengkar Jogja, 21 Oktober 2022

PUISI; SAJAK SEJAK-SEJAK

Sejak angka menjadi standar Beberapa orang tersingkir dari kehidupan Sejak dunia semakin cepat Beberapa orang tersungkur dalam kehidupan Sejak semua perlu pembuktian Beberapa orang terbenam di remang impian Sejak apa saja harus dikatakan Beberapa orang terlilit di pusaran kebohongan Berharap, diharapkan, dan harapan Tumpang tindih diacak-acak keegoisan Dan diujung sana Seseorang mengadu pada bulan Ia katakan "Aku hanya ingin melihat bintang." Jogja, 18 Oktober 2022 

PUISI; KAWANAN CANGKIR

Sekawan cangkir dialas cawan Malamnya hanya ditemari buku itu Sendok yang cemburu sebab tak disenggama Dan elusan angin yang menyelinap disela lantai papan Sesekali bulan menggerutu Sebab ia diacuhkan Sepertinya cerita itu mereka sembunyikan dari sinarnya Malam minggu itu hanya milik kopi dan setumpuk bakau Sesekali pula bintang menceloteh Ia dipandang kecil Seolah-olah mereka lupa Akan hambar rasanya kopi dan bakau jika ia sirna Dan dalam seduhan kopi serta hisapan bakau itu Ditepi sawah Gangsir mendengar ceracau dalam tegukan Dikolong rumah Jangkrik melihat angan dalam kepulan Jogja, 15 Oktober 2022

PUISI; SUMPUK MENUMPUK

Berita-berita di televisi Sibuk memburu validasi Mengurusi lampu pijar yang lama mati Menjadi laron-laron penuh ambisi Menggiring opini Menggelar prostitusi informasi Membangun istana akuisisi Mengibuli, mengibuli, dan mendustai Mencari celah intimidasi Membangun bui sendiri Saling sikut tak terhindari Mengebiri, mengebiri, dan melukai Ooo maknaa Dimana kata kau tata Aku hendak kemana Percaya pada siapa Kuhibahkan jiwa pada Sang makna Jogja, 14 Oktober 2022

PUISI; KITA HARUS BAGAIMANA?

Kita diajarkan pancasila Tapi tidak dicontohkan cara hidup beragam Kita diajarkan kemanusiaan Tapi tidak dilihatkan lewat tindakan Kita diajarkan gotong royong Tapi tidak kenapa dikuakkan saling todong Kita diajarkan kepemimpinan Tapi tidak dipertontonkan lewat keterwakilan Kita adalah generasi tanpa bapak Mencari sumur keteladanan  Yang tak kunjung tampak Kita adalah Musa Kabar duka bagi penguasa  Jogja, 14 Oktober 2022

PUISI; UNTUK KAWAN

Kita adalah generasi yang terabaikan Mencari ketenangan dalam pelarian Kadang, keinginan berujung penistaan Dituntut untuk kembali pada kegelapan Dan dunia akan kita genggam Namun tidak dengan sepotong kayu dan rotan Apalagi makian berlandas mentalitas kekuatan Semu, halu, kuno, kau jauh dari kehidupan Mencari jati diri dalam genggaman Itu yang kita lakukan Tidak baik-tidak buruk Memang realita zaman Laki laki dihujat bercengkrama dengan bulan Wanita wanita dimaki melipat badan di sudut ruangan Sesak dan tersimpul tuntutan Kekangan dalam kerangkeng peninggalan Kita adalah generasi penuh tantangan Dibawa oleh percepatan dan peralihan Maju ditantang, mundur menafikan Jogja, 10 Oktober 2022

PUISI; JIKA KELAK

Hari hari esok akan panjang  dan berlipat ganda 24/7 tidak hanya kalkulasi angka Dia akan membuntut dan selalu mengajak berkelana Menyisiri ambang durjana kita Mengikis tebing laranya jiwa Jika kelak Apinya ada dalam hembusan padam Ingat lagi gelora ketika tekad yang mapan Jika kelak Jiwanya ada dalam cuaca buruk gersang Ingat lagi telapak ketika menyentuh hati dengan kitab Dan kita adalah anak tangga menuju puncak ketinggian Tidak pernah ada yang paling Dan tidak satupun yang ingin pulang Kita akan terbang Menuju ketinggian Bersama  Tidak ada yang tertinggal  Jogja, 09 Oktober 2022

PUISI; KETIKA HUJAN

Apa yang kawan lakukan saat hujan datang? Ketika nyatanya hujan tidak hanya menurunkan air? Dan ketika hujan tidak hanya menghadirkan dingin? Ngemie? Baca buku? Ngopi? Netflix-an? Atau masih sibuk dengan tugas diperkuliahan? Lalu, ketika yang nyatanya kawan temui saat hujan  adalah  kabung, bukan mendung resah, bukan basah keluh, bukan guruh ketir, bukan petir pilu, bukan deru impas, bukan deras rintih, bukan rintik Apakah kawan ingin tidur pulas sepanjang masa? Kata orang, "habis hujan ada pelangi?" Kawan percaya itu bukan? Jogja, 7 Oktober 2022

PUISI; MATI DALAM KEADAAN KIRI I

Aku ingin mati dalam keadaan kiri Mati dengan kemenangan yang menumbangkan kebutaan Aku ingin mati dalam keadaan kiri Mati dengan kemenangan yang menerjang belenggu perbudakan Aku ingin mati dalam keadaan kiri Dan karena kiri yang kau kira kekanak-kanakan itu Kau tandas, kau impas, kau lepas dan ku bebas Alerta! Alerta! Alerta! Antifascista!! Merdeka!! Yogyakarta, 5 Oktober 2022

PUISI; SEPUCUK IDAMAN

-menyisir penat usai membajak sawah,  menyeruput kopi, menghisap rokok,  membaca buku, melihat gadis kecil kita, berlari-lari riang. -dan di sore itu, kita bercengkrama,  menceritakan dunia serta isinya, meski langit akan mendung, aku yakin cerita kita akan selalu cerah dan hangat -saat maghrib datang,  aku dan si bujang bergegas ke surau, lalu, dalam setiap langkahnya adalah syair-syair puisi,  tentang ku, tentang mu, anak-anak kita,  dan orang banyak Jogja, 3 Oktober 2022

PUISI; AKU INGIN

Aku ingin kita bercerita dibelakang rumah itu Rumah panggung sederhana berlantai dua Di lantai satu, tempat rak buku kita tata rapi Aku ingin kita berkuasa atas dunia Menceritakan kebodohan sejak bangun tadi pagi Menceritakan malam-malam yang penuh mimpi Atau bahkan, menceritakan jika esok pagi kita tidak lagi melihat matahari Kelak, jika lumbung padi kita sudah habis dan kau dapati simpanan berkurang Ingat lagi saat bahagianya kita dengan panen melimpah Hati riang anak saat bermain disawah kala musim tanam datang Atau, saat senyum merekah dipagi hari melihat padi yang menguning Dik, siapakah yang mau dipinang dengan seikat benih padi dan sebuah alat bajak keluaran jepang? Atau mungkin sebilah pohon bambu untuk membangun rumah panggung? Tapi dik, siapapun itu Aku selalu ingin menuju senja disini dan seperti ini Menikmati sore sambil menyeruput kopi dan membaca buku. Lalu, saat maghrib datang. Bergegas mengajak anak pergi ke surau. Hingga malam datang, kita terlelap dengan tenang. Dik,

PUISI; AKU DIBESARKAN OLEH FEMINIS

Aku besar dari lingkungan feminis dik Perempuan-perempuan disekitar ku hebat Mereka orang-orang yang kuat Tabah, tegas, jiwanya hangat, dan gengamannya erat Dik, dahulu.. Ketika dirumah Aku dididik keras oleh kakakku Katanya, lelaki tak boleh menangis "Lihat aku! Tak mau diinjak lelaki", ujarnya seusai bertengkar dengan teman lelakinya Ya, aku masih ingat itu Keributan menyentil mereka Tak kala kakak ku dicurangi saat bermain gambar -kertas persegi kecil itu Ia tak suka itu. Ia pukul hidung pria itu hingga meraung-raung ke rumahnya Aku juga ingat Kikuk sang kakak pulang sekolah Ia memanjat batang pohon jambu Sesampainya diatas, dia jatuhkan jambu itu, dia hadiahkan untuk teman-temannya Semua orang senang melihatnya dik, Kecuali sang pemilik batang jambu Dia garang, marah besar dan mengadu pada ibu Dik, ibuku pun begitu Masih teringat ketika dulu Saat aku akan disekolahkan ke asrama Beliau ajari aku mencuci kain, beliau ajari aku menyetrika, beliau ajari aku mencuci piring, be

PUISI; UNTUK KANJURUHAN

Seorang lampau pernah berkata, "Aku melawan saudaraku, aku dan saudara ku melawan sepupuku, aku, saudaraku, dan sepupuku melawan orang lain." -dalam Pulang-Tereliye. Aku juga pernah mendengar, "Musuh dari musuhmu adalah temanmu." Begitulah kira-kira. Dan disini aku bertanya, kepada siapa kita harus percaya? Jika percaya berujung dusta? Lalu pada siapa kita akan setia? Jika setia berujung pada murka? Dan kemudian, seorang karib berteriak, "Tidak peduli seberapa besar engkau mempercayai polisi. Ingat, polisi mencoba untuk tidak pernah mempercayaimu!" Satir nya. Dan dalam suatu subuh. Seorang ayah terjaga dari lelapnya. Menemui kasur tidur anaknya yang hampa. Ia menyeduh kopi. Lalu meneguk kabar duka. Turut berdukacita atas 'kerumunan' yang terjadi di stadion Kanjuruhan. Mari saling peluk selayak saudara. Saling jaga seperti keluarga Jogja, 03 Oktober 2022 

PUISI; ANOMALI-ANOMALI GERAKAN

Dan ternyata Deras hujan tak sedikitpun memadamkan Jiwa yang terbakar Sekelompok minoritas Menerjang arus kelaziman  Mencari-cari dan berusaha menemukan Mayoritas yang berbondong-bondong Bersorak-sorai merayakan kebodohan  Mereka lihat bangunan megah Mencarinya dalam sudut-sudut kelas Ternyata mereka tidak disana Pestapora telah menyembunyikannya Merika lihat warung kopi Warung kopi yang katanya lumbung diskusi Ternyata mereka tidak disana Keramaian yang memanipulasi, ternyata hanya diri sendiri dalam ruang persegi Mereka lihat jalanan panas Jalanan yang katanya muaranya keadilan Ternyata mereka tidak disana Hanya seonggok tubuh, tanpa jiwa yang utuh Meneriakkan, "Alerta! Alerta! Antifascista!!" Dalam instastory semata Lalu, sekawan minoritas ingin beradaptasi Mencoba masuk dalam sendi-sendi teknologi-informasi Ternyata mereka juga tidak disana Malam larut telah menculiknya Dalam depresi akibat teknologi dan dehidrasi informasi  Dan ternyata Deras hujan tak sedikitpun memadam

PUISI; DEMAGOG KAUM TERPELAJAR

Melihat kesunyian Dosen itu bertanya, "Wah, ada apa ini?" "Lagi baca-baca dan membuka ruang literasi untuk kawan-kawan pak." Jawabnya menurun. "Mahasiswa sekarang sudah sedikit punya buku. Dan sayangnya, e-book juga tak ada, hahaah." Celoteh dosen tua. Pantaslah, sebab pendidikan kelas mereka hanya sesak afirmasi dan validasi Bagi mereka, berorganisasi adalah menjadi mesin penguasa Menisbatkan diri jadi mekanik panitia Lalu lupa, bahwa dia ini dimana? Pendidikan membuatnya mungkar Melihat kehidupan dengan ingkar Pendidikan tidak lagi membawa maniak peradaban Peradaban dengan penuh ilmu pengetahuan Lalu lupa, rakyat ada dimana? Pantaslah hari ini, G 30 S tidak bisa dilihat kecuali dengan kebencian brutal Anti-antian disebar dalam flyer yang mereka sebut peringatan Dan peringatan-peringatan mereka menutupi kepala akan pengetahuan Sebab, pengetahuan ditutupi oleh hasrat keapatisan Jogja, 30 September 2022

PUISI; PUISI ADALAH KEHIDUPAN DAN KEHIDUPAN ADALAH PERTANIAN

Hari-hari kita adalah sepetak sawah yang kepalang  Sebagian rumpun padi habis digerogoti keong girang Biaya pupuk, produksi, bahkan distribusi tinggi menjulang Sebab, keong girang adalah penguasa yang lancang Dan nan tinggi menjulang adalah hukum yang timpang Hari-hari kita adalah sebidang tanah yang malang Tanah yang perlahan-lahan berkurang Meteran-meteran kian memanjang Lalu tanah itu tertancap tanda-tanda dalam tiang Meteran-meteran memanjang dan lahan berkurang Hari-hari kita adalah sebuah cangkul yang usang Dihantui alat alat baru yang datang Sedang pendapatan hasil panen berkurang Alat-alat yang dititipkan orang asing menang Menekan panen dengan dalih inflasi uang Hari-hari kita adalah food estate yang garang Menyita lumbung pangan dengan riang Menikam petani dari belakang Bagi mereka lumbung adalah tanah lapang Dan petani adalah para pendatang  Puisiku sungguh susah terbang Sebab tingginya tembok dan jurang Sawah adalah harapan Tanah merupakan warisan Cangkul hanyalah keahlian

PUISI; AKU KECELE LAGI

Ada yang memoderatori diri sendiri Ambil alih semua sisi Tak boleh satupun yang dibagi Sedangkan yang lain sibuk uruskan properti Agar bisa naik mendaki tinggi Mereka yang lain sudah pergi Mencari apa yang dia sukai Rumah, katanya penuh duri Tak menghidupi diri Tak memberi inspirasi Dan masih ada lagi  Ia menceritakan aib sendiri Habiskan semua kata untuk puji Anggap diri kuasa bumi Tak ada yang bisa hentikan nadi Lalu kuceritakan lagi Mereka yang berjalan sendiri Pelan pelan lama berhenti Muak dengan segala tendensi Jauh dari kata ambisi Tapi lupa akan waktu berlari Sedangkan diri sendiri Mencoba jalani hari-hari Lepaskan semua ekspektasi Jauhkan semua spekulasi Membangun istana kelompok kami Suatu hari nanti Kan jadi cerita abadi Untuk anak anak kami nanti Musuh dari musuh adalah teman sehati Jogja, 24 September 2022

PUISI; KELAKUAN-KELAKUAN ANEH

Kelakuan - kelakuan aneh yang tidak dipersoalkan Mengapa selalu sedih saat berpisah Padahal pertemuan menghadiahi kisah? Saat hubungan tidak lagi menyangkut beberapa orang Kesimpulan ditarik lalu ditelan tanpa timbang Bagaimana nasib seorang linglung yang mencari bahagia padahal sedih saja tak punya Mencari-cari yang sebenarnya sudah tertuang dalam porsi Apalagi, ketika sendu dan resah akan terobati dengan solusi Kenapa harus menutup-nutupi seyum yang membelakangi verifikasi dan konfirmasi  Dan hati yang mencuri simpati Mengumpulkan empati, menabung peduli Siapa yang terlukai, enggan diketahui Satu sama lain akhirnya menodai  Macam kelakuan umat manusia Tak akan pernah berhenti dan selalu terganti Mereka tak sama Semua mengerti cara berdiri Meski berbeda versi Jogja, 22 September 2022

PUISI; NOUMENA

Pada malam gelap yang tidak kelam Orang-orang menelanjangi diri dengan bangga Mengumpulkan angka atas rata-rata  Lalu menyusunnya dalam kata di sebuah nama Pada ruang sesak yang tidak pengap Manusia-manusia bertaruh dengan sebatang pena Memperebutkan kalimat-kalimat puja Lalu menyematkannya dalam dada Pada tempat riuh yang tidak ramai Orang-orang menatap kedepan Menyangsikan kiri dan kanan Mundur ibarat kontainer Maju ibarat buldoser Melabrak apa saja dan merasa tak apa Pada perempatan jalan yang tidak macet Para pengendara kecele Kaget-kaget dan diklaksoni anomali tirani Kuasa menyelingkuhi oligarki Memanipulasi, merasuki, mengencingi Hingga, satu kata saja tak pernah ada arti Pada lorong sunyi yang tidak hanya sepi Segelintir orang menangis lalu meratap Dalam setiap tetes air matanya adalah fenomena Dalam setiap isakan deru nafasnya adalah nomena Jogja, 21 September 2022

PUISI; MENCINTAI PUISI

Saya mencintai puisi, karena saya tau padanya makna-makna bisa diselipkan. Saya mencintai puisi, karena saya tau tidak semua orang suka jurnal dan buku tebal. Saya mencintai puisi, karena saya yakin bahwa dalam keindahan ada kebaikan. Dan dengan mencintai puisi. Saya bisa mencintai diri sendiri! Selamat mencumbu puisi kawan! Jogja, 19 September 2022

PUISI; SIMBOL BERSAKSI

Untuk simbol-simbol yang bertentangan Aku bersaksi bahwa Tiada simbol paling agung Selain simbol kebenaran Untuk warna-warna yang berselisihan Aku bersaksi bahwa Tiada warna paling purna Selain warna keberagaman Untuk panji-panji yang berkibaran Aku bersaksi bahwa Tiada kibaran panji paling mengelepak Selain panji perjuangan yang serempak Untuk kampus-kampus yang bersebaran Aku bersaksi bahwa  Tiada kampus paling aman Selain kampus pembebasan Untuk mahasiswa-mahasiswa yang berdatangan Aku bersaksi bahwa Tiada pendidikan yang mencerahkan Selain pendidikan yang menggerakkan Jogja, 14 September 2022

PUISI; MONOLOG TEMARAM

Pada lampu yang hidup Saat pergantian siang dan malam Aku bertanya-tanya Kenapa harus ada pertengkaran Kenapa harus ada pertentangan Kenapa harus ada perlombaan Kenapa harus ada persaingan Pada meja dan kursi kosong Ditengah-tengah warung kopi Aku bertanya-tanya Kenapa harus takut akan kekalahan Kenapa harus takut akan ketertinggalan Kenapa harus sekali mendapatkan kemenangan Kenapa harus sekali mendapatkan perhatian Kepada kasir di warung kopi itu Aku bertanya Mengapa jualan? Kepada kawan di sebelah kursi kosong itu Aku bertanya Mengapa disini sendirian? Dan pertanyaan-pertanyaan ku Menghujam dalam pada tanah parkiran Ia menjawab Jalani saja dengen kecintaan Sebelum engkau ku tanam pada kedinginan  Jogja, 14 September 2022

PUISI; PERTENTANGAN-PERTENTANGAN DALAM KANDANG

Saat pendatang masuk dalam kandang Para serdadu-serdadu itu menjemput Mereka masuk dalam kelas-kelas Masuk dan terhimpun dalam golongan penyambut Tidak Mereka bukan serdadu Saat pendatang masuk dalam kandang Para pedagang itu membuka lapak Mereka menawarkan jasa dan barang Mereka tawarkan sebatang rokok saat berada diwarung kopu Membual, berlegenda, bersajak, dan berhiperbola Tak jarang juga mencela Ya Mereka adalah pedagang Tidak lebih baik satu sama lain Ideologi dijadikan 'barang' murah Padahal ia bukan barang murahan Saat pendatang masuk dalam kandang Simbol-simbolpun bertentangan Melacurkan diri untuk menambah pasukan Mereka minim ide Minim gagasan Ya Begitulah jika tempat itu jadi kandang Yang diisi oleh hewan-hewan bertentang Jauh dari kata 'juang' Seorang kawan tergopoh-gopoh Datang melaporkan keadaan "Situasi kandang memburuk, Kran bocor, air merambat masuk perlahan Memperkeruh keadaan". Ucapannya. "Biarkan, dan buat kran yang lebih besar Jadikan