Langsung ke konten utama

PUISI; AKU DIBESARKAN OLEH FEMINIS

Aku besar dari lingkungan feminis dik

Perempuan-perempuan disekitar ku hebat

Mereka orang-orang yang kuat

Tabah, tegas, jiwanya hangat, dan gengamannya erat


Dik, dahulu..

Ketika dirumah

Aku dididik keras oleh kakakku

Katanya, lelaki tak boleh menangis

"Lihat aku! Tak mau diinjak lelaki", ujarnya seusai bertengkar dengan teman lelakinya


Ya, aku masih ingat itu

Keributan menyentil mereka

Tak kala kakak ku dicurangi saat bermain gambar -kertas persegi kecil itu

Ia tak suka itu. Ia pukul hidung pria itu hingga meraung-raung ke rumahnya


Aku juga ingat

Kikuk sang kakak pulang sekolah

Ia memanjat batang pohon jambu

Sesampainya diatas, dia jatuhkan jambu itu, dia hadiahkan untuk teman-temannya

Semua orang senang melihatnya dik,

Kecuali sang pemilik batang jambu

Dia garang, marah besar dan mengadu pada ibu


Dik, ibuku pun begitu

Masih teringat ketika dulu

Saat aku akan disekolahkan ke asrama

Beliau ajari aku mencuci kain, beliau ajari aku menyetrika, beliau ajari aku mencuci piring, beliau ajari aku memasak, -meski aku tidak lebih mahir dari adikku yang bungsu 


Kata ibuku, "Ini bukan pekerjaan wanita yang laki-laki tak boleh mengerjakannya. Justru laki-laki tidak boleh jadi beban pada wanita."


"Kelak, ketika kau punya istri. Lalu ia bunting, mau kau kemanakan piring kotor dirumahmu? Mau kau kemanakan popok bayimu ketika ia lahir? Mau kau isi apa perutmu? Sedang istrimu menjerit kesakitan?" Petuah ibu padaku.


Dik, aku masih ingat ketika aku, ibuku, dan kakak keduaku sedang menanam padi disawah

Saat itu, aku sedang merasakan manisnya cinta monyet


Kau tau? Apa yang kakakku dan ibuku katakan?


"Dik, aku tak ingin kau menyakiti perempuan. Sedang kau masih kecil dan belum punya apa apa untuk menghidupi anak orang. Ingat saja, aku ini juga perempuan!" Kata kakakku.


"Nak, ibu tau kamu sudah mulai dewasa. Tapi, sudah siapkah kau untuk meminangnya? Sebab, perempuan tak akan kenyang jika dihidupi dengan cinta."


Begitu dik, nasihat kakak dan ibu ku

Aku kira, mereka akan melarangku berpacaran karena alasan agama -haram.

Tapi, bukan itu

Dia, kakaku. Tak ingin aku menyakiti perasaan wanita

Dia, ibuku. Tak ingin aku mempermainkan harapan wanita.


Begitu dik. Dalam keluarga kecil itu. Dari ibuku, dua kakakku. Aku belajar. Perempuan harus merdeka dan lelaki tidak boleh merasa berkuasa.


Sebenarnya masih banyak yang ingin kuceritakan dik

Tentang didikan saudara perempuan ayahku yang tegas

Tentang aku yang dimarahi ibuku karena memaki kakakku

Tentang kakakku yang dilepas ayahku ke negeri pasir sana

Dan tentang, perjuangan kaum perempuan dalam menyuarakan kesetaraan


Jogja, 3 Oktober 2022 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CERITA; SINTA MENUNGGU RAMA

Bersabarlah barang sejenak Sinta! Tenang saja, aku akan menghampirimu di tengah pulau itu. Kamu tau? Aku sedang menanak puisi untuk kita santap sembari menunggu matahari terbenam nanti. Tapi, jika nanti aku menghampirimu dengan keadaan tak berdaya. Maka, keribaanmulah yang akan menjadi sampan bagiku kesana. Sinta, tolonglah kamu jelaskan dulu pada mereka bahwa cinta itu bukan barang murah yang seenaknya dapat diobral sana-sini.  Bahwa cinta itu harus di bentuk dengan proses panjang dan teliti. Penuh ketabahan dan juga keuletan. Jadi, selama di tengah pulau sana. Bersabarlah kau menungguku, menyuguhkan cinta untukmu. Lalu kita seduh dan nikmati bersama. Sinta oh sinta. Firasatku, diri ini akan jadi abu di atas tunggul. Tapi tak apa, setidaknya aku akan menjadi kayu yang menyilang api untukmu dan menjadi bara yang akan mengantar hangat padamu. Kebawah tidak berakar, keatas tidak berpucuk, dan ditengah dirayapi kumbang. Begitulah ketidak berdayaan ku sekarang menghampirimu. Jadi, sabar du

PUISI; AKU INGIN

Aku ingin kita bercerita dibelakang rumah itu Rumah panggung sederhana berlantai dua Di lantai satu, tempat rak buku kita tata rapi Aku ingin kita berkuasa atas dunia Menceritakan kebodohan sejak bangun tadi pagi Menceritakan malam-malam yang penuh mimpi Atau bahkan, menceritakan jika esok pagi kita tidak lagi melihat matahari Kelak, jika lumbung padi kita sudah habis dan kau dapati simpanan berkurang Ingat lagi saat bahagianya kita dengan panen melimpah Hati riang anak saat bermain disawah kala musim tanam datang Atau, saat senyum merekah dipagi hari melihat padi yang menguning Dik, siapakah yang mau dipinang dengan seikat benih padi dan sebuah alat bajak keluaran jepang? Atau mungkin sebilah pohon bambu untuk membangun rumah panggung? Tapi dik, siapapun itu Aku selalu ingin menuju senja disini dan seperti ini Menikmati sore sambil menyeruput kopi dan membaca buku. Lalu, saat maghrib datang. Bergegas mengajak anak pergi ke surau. Hingga malam datang, kita terlelap dengan tenang. Dik,

PUISI; JALAN SUNYI

Maka ingatlah Ketika malam mengambil ikrar dari akar pohon kelapa Bulan dan bintang menyisir sumpah serapah tetua Bersama cahaya lilin dalam ruang-ruang gelap Sunyi tapi tak pernah sepi Satu persatu lilin mati Dalam benak yang penuh ekspektasi Amukan cinta dan benci Menyisakan kau sendiri Dalam jalan sunyi Lihatlah kawanmu Berlari-lari Tertawa tak henti Mengisi ruang-ruang hati Mengajak berdiri Menyusuri duri jalan ini Seperti bunga Kita tumbuh Mekar harum dan berseri Menghadapi jalan sunyi -Jogja, 08 Agustus 2023