Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2024

PUISI; MENGAPA - JIKA

Mengapa aku harus merindukanmu  Jika semua rindu hanyalah milik - Nya? Mengapa aku harus mencintaimu  Jika semua cinta hanyalah milik  - Nya? Dan mengapa kalian sulit melepasnya Jika segala kepemilikan hanyalah punya yang kuasa? Jogja, 31 Oktober 2024

PUISI; RIAK YANG SAMA

Aku kembali dengan riak yang sama dan desau yang nyaring tak seberapa   Jelaslah, jalan ini belum cukup dalam terselami   Di Merak Ombak enggan membiru   Sedang kapal tak tau menahu; menarik detik; menyebrang waktu; mengantarku pada dermaga ungu;   Aku berlayar di samudera balada itu   Matahari terbenam di ufuk kelabu Menyisakan aku dengan riak yang tak dalam itu   Merak, 4 April 2024

PUISI; PARFUMMU DI JALANAN KOTA

Hujan menyirami parfummu di jalanan kota Wanginya telah lama mengusir sedap malam saat gelap Dan kita, tak akan menyeruak bersama fajar mulai resah Di altar kota, sebuah angkringan memancarkan cinta yang tidak sefrekuensi dari radio   Kita pura - pura menelawan tawa dalam sebuah nasi kucing   Dan biarlah aku akan mencintaimu lewat suara samar di radio itu Nasi sudah menjadi bubur Dan engkau tak akan mau dengarkan lirih hatinya yang lembek ini Maret, 2024

PUISI; PANCAROBA

Pancaroba bermusim dalam dada Menyisakan bibir gersang Menceracaulah kemarau   Kayu bersilang dalam hati seorang bocah pelempar batu Mengepulkan asap timah perlawanan Memecah salju langit Timur   Dan mesiu menyeruak dalam ingatan Membumbung menjelma langit merah Menggumpal dan tumpah   Hujan jatuh dari pelupuk mata   Suaramu parau Hingga tak ada lagi yang bisa kami dengar Dari teriakan paling tragis umat manusia “Intifadha!”   Setiap malam dalam musim pancaroba Api menghunjam dari lintasan Buroq suci menuju kerak bumi Mengancurkan mimpi bocah pelempar batu   Dan ruh kudus datang menyelimutimu Sedang kau berbisik "Kami tak takut mati, bukan berarti kami tidak ingin hidup!"   Jogja, 24 Februari 2024            

PUISI; TITIK KOMA

Aku membacamu tanpa mengenal titik dan koma   Pada paragraf yang sulit Aku mengernyitkan dahi   Mengulangi setiap kalimat Mencari kata yang tak berkesimpulan   Sukar dan Sekar yang aku bacai Kau adalah buku tanpa halaman   Tak berhitungan aku balik setiap lembaran   Tak berkesudahan aku cintai setiap kerumitan   Dan aku akan terus mencintaimu tanpa mengenal titik dan koma

PUISI; YANG BERMUKIM DI ATAS KEPALA

Yang bermukim di atas kepala Adalah segala ingatan yang tak kunjung roboh Dan segala angan yang semakin kokoh   Ilalang bertumbuh liar Dirayapi ular Dihinggapi belalang   Berkembang bunga Anyelir Menyeruak harum Menumbuh ingin   Yang bermukim di atas kepala Adalah jalan penuh duri Menusuk – nusuk dalam mimpi  

PUISI; DILUAR BATAS KEWARASAN

Diluar batas kewarasan menghampar semak belukar kejadian   ilalang tumbuh dan saling menusuk   padang mengepulkan debu perang bala pasukan yang mengaburkan pandangan   orang-orang yang bergigi lebih lunak dari lidah berumah ditepian pantai dengan lamuan ombak paling ganas   diluar batas kewarasan manusia hidup tanpa kemanusiaan   akal hanyalah seonggok daging yang kapan saja dapat ditebas oleh pedang kesatria Sedang di dalam batas kewarasan semak belukar tak dapat lagi disiangi padang pasir tak usai disirami orang-orang hanya menunggu kabar baik riwayat hidupnya setelah ombak menerjang   didalam batas kewarasan manusia hidup tak seperti manusia   akal hanyalah seonggok daging yang kapan saja dapat diobral murah oleh saudagar kaya

PUISI; SEPANJANG HISAPAN ROKOK

Berceritalah sepanjang hisapan rokokku yang paling dalam   Aku ingin mendengar suaramu disela bara api yang menyala pada gulungan kertas   Membalut aroma tembakau dan cengkeh yang menyeruak dalam alam pikir   Masuklah dalam paru dan jantung yang membuatku merasa hidup meski khawatir kematian   Berceritalah sebanyak nikotin yang aku hisap dalam tembakau   aku ingin menjadi pencandumu disela rasa cemburu yang menghantui pada setiap malam

PUISI; MATI DALAM KEADAAN KIRI

Siapa yang ingin mati Seperti Tan Mati dengan kalimat revolusi Yang dikubur oleh iri dengki   Siapa yang ingin mati Seperti Gie Mati dengan batu keyakinan Yang ditelan kawah sang kawan   Siapa yang ingin mati Seperti Wiji Mati dengan bola mata Yang dirampas oleh realita   Sedang kini Siapa lagi yang ingin mati Dalam keadaan kiri ?   Dirayakan dan diarak balada orang kekirian Membusuk dalam peti kendali kekinian

PUISI; MENCARI PITUAH PADA ABABIL

Dalam lauhul mahfuz Raqib – Atid berebut tinta Di lembah azali             “Janganlah kalian mencampur Kebenaran dan kebatilan!” *** Tipu daya telah merasuk Dan membungkus azimat Pada kantong penjual agama             “Terajang Ia!”             “Telanjangi Ia!” Seorang Gadis Menunggu hikayah Di tepi samudera buas “Jangan Tuan” “Ampun Tuan” *** Dan hikayah Terdampar pada atid Gadis meringis tragis   Sedang burung-burung terbang tanpa arah mencari pituah pada ababil

PUISI; BUNGA PENGHISAP DENDAM

Aku mendengar lagi Led Zeppelin dengan Stairway to Heaven-Nya   Sambil mendongak, mengepulkan asap rokok ke langit-langit kamar kos-an ukuran petak 2 x 3 Aku berharap ada tangga menuju kerelaan   Sedang, lidah mertua menjulurkan ibrah ke atas meja belajar Bahwa dada adalah taman luas untuk beribu bunga Dan lidah mertua hanya seutas bunga penghisap dendam dari hati yang sempit   Bunga ditaruh dalam pot seadanya, botol plastik yang dipenggal lehernya, dipenggal bencinya, lalu diisi air, air mata sisa tangisan kemarin   Robert Plan bernyanyi lebih kencang, ia berlari menuju surga Aku menyusul segera, menghisap rokok lebih dalam, memadamkan bara kekalahan, dalam asbak penuh puntung kemakzulan   Jogja, 31 Januari 2024

PUISI; NATSIR YANG MENDAHULUI ZAMAN

Dari balik kacamata Ia melihat ,jalan panjang terbentang arah berliku, dan jurang menganga di kiri dan di kanan   Pada jas Natsir yang penuh tambalan Ada kain berlubang, benang putus dari pintalan Jalinannya lapuk merenggang, tarik menarik tangan kekuasaan   Pada mobil butut yang Ia kendarai Ada penumpang yang berbicara ugal-ugalan, menerobos jalan seperti celeng purba dalam rimba raya Senggol sana, senggol sini dan suing yang menyerunduk siapa saja, apa saja   Pada rumah kontrakan tempat Ia berteduh Ada pencuri yang mengintai dari setiap sudut kesempatan Mengumpulkan harta benda, menumpuk kekayaaan, tak ada yang tersisa, kecuali jelmaan buku teori evolusi Darwin, kera yang serakah   Natsir memperbaiki dudukan kacamata mengalihkan pandangan pada sorban suci yang melingkar di dada dan leher sorban yang menutup kebinatangan manusia   Namun, sial Dari balik lilitan sorbannya itu Para penerus bertengkar; Saling...

PUISI; JURU MASAK

Menjelang siang Hanya pria berotak kosong yang merasa lapar Membayangkan es kolak yang melimpah Melebihi bibir mangkok tak bertepi   Ia bergegas, mencari Juru masak yang berminyak dan berair Sedang menggaruk kepala dengan tangan kanan Dan pisang di tangan kiri, dengan kulit pisang mengelupas tiga   Ya, kolak pisang Si pria meminta juru masak menghidangkannya   Mulailah juru masak berdansa dengan sutilnya Ia sediakan bahan Parutan kelapa, gula merah, garam seujung sendok, daun pandan sehelai, beberapa pisang, dan setitik merica   Pria itu, menyantap hidangan Mulanya, ia rasakan manis gula, gurih santan, sedikit asin garan, harum pandan, dan merica yang mengganjal selera   Si pria berhenti seketika Setelah ia sadar Termakan omongan si juru masak yang berminyak dan berair   Jogja, 3 Januari 2023

PUISI; KELINDAN

Kelapir Berkait kelindan Angin jam 2 malam mengantarkan bajingan kampung ini masuk dalam pori pori sempit kemajuan menuju jantung kota yang bebal   Di depan teras rumah tua dengan meja kursi yang disusun terpaksa dari peti buah dari pasar depan sana   Sesekali pohon nangka di halaman Menjatuhkan ingatan pada dasar bumi, tanah memberi isyarat bahwa hidup tak selalu diatas   Di depan halaman juga rerumputan yang mulai panjang menjelma semak belukar dalam pikiran   Disiangi rimba lagi Dipotong panjang lagi   Seperti masalah yang datang tanpa henti   Pikirku puisi dapat menengahi ku hisap lagi rokok yang sebatang lalu ciut ditelan malam   Nun jauh diatas sana bulan menertawakan anak kampung yang kewalahan menyambut masa depan   Jogja, 9 Mei 2023  

PUISI; NEGERI YANG KEHILANGAN MATAHARI

Aku temukan Pria berkantung mata hitam Menatap jalan berlubang Di negeri yang kehilangan matahari   Pada ku ia bertanya “apakah ada cahaya?”   Di perempatan jalan aku menjawab “aku tatap matahari, sinarnya telah sirna dan tak lagi menyilaukan, hanya tersisa lampu diujung jalan buntu, menewarang baliho politisi dengan senyum palsu”   Jogja, 2 Januari 2023