Langsung ke konten utama

CERITA; SEBELUM PERANG PUPUTAN

"Sinyo, harus berapa kali aku katakan. Kalau cintaku pada tanah leluhur ini lebih dalam dari cintaku padamu!"


Ida Ayu Melasti menghantam bujukan pacarnya -serdadu Belanda itu. Suasana sore menjadi mati. Menyisakan derai ombak yang dipecah batu karang. Melasti dan pacarnya terbujur kaku dalam lamunan.


Betapapun sang pacar serdadu itu membujuknya, ia tidak akan mau ikut berlayar esok pagi ke negeri kincir angin tersebut.


Meskipun imbalannya adalah hidup tenang dan berlimpah bahagia.


Sang pacar seperti kehabisan kata. Sudah ia jelaskan semuanya. Bahwa nanti malam adalah malapetaka dan mimpi buruk bagi kisah cinta mereka.


Pasukan Belanda siap untuk menyerbu pribumi yang mereka anggap telah lancang menawan kapal dagangnya. 


Disisi lain, Melasti sedang menyembunyikan rahasia besar pula. Tentang orang-orang Bali yang rela mati untuk mempertahankan tanah leluhurnya.


Bahkan, sekalipun matahari sore itu segera tenggelam dan genderang tabuh peperangan dimulai. Ia rela cinta kasihnya juga ikut usai. Jikalau perlu, tidak usah ada matahari terbit esok pagi. Agar seluruh jiwa raganya habis dalam perjuangan yang abadi.


Melasti sudah bertekad dan naik pitam. Baginya, orang-orang Belanda hanya binatang buas. Mereka datang dan merampas alam Bali. 


Mereka tidak mengerti bagaimana menghargai lingkungan, menjaga alam, menghormati nenek moyang, dan melestarikan budaya.


"Mereka terlalu pongah, menganggap diri paling berpendidikan. Belajar filsafat, seni, sastra, dan teknologi. Tapi tidak satupun yang bisa memupuk budi pekertinya." Pikir Melasti.


Dalam hati, Melasti kembali menggerutu, "mereka membawa senjata dan merampas hak-hak pribumi dengan dalih kemajuan umat manusia. Entah manusia yang mana? Dan kemanusiaan yang seperti apa?" 

----

Setelah beberapa saat, Melasti membuka lagi obrolan. Ia sampaikan pada pacarnya -Serdadu Belanda itu.


"Cinta kita terlalu nista Sayang. Cintamu hanya nafsu birahi pada gadis Bali. Dan cintaku juga hasrat pada hidung mancung dan kulit putih orang eropa.


Tuhan sedang mengutuk cinta kita. Karena kita telah abai pada sesama. Bahkan agamapun tidak mampu untuk mengakhiri kelalaian kita. Tentang cinta dan kemanusiaan. Kita tidak bisa mengaturnya.


Aku lebih rela malam ini kita sirna bersama cinta semu itu. Dan biarkan orang-orang besok pagi menabur debu jiwa yang rusak ini. Di tepian pantai ini, cinta kita akan abadi."


Sore itu, menjadi ujung kisah cinta mereka. Karena nanti malam semua akan sirna.


-Jogja, 26 Juli 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CERITA; SINTA MENUNGGU RAMA

Bersabarlah barang sejenak Sinta! Tenang saja, aku akan menghampirimu di tengah pulau itu. Kamu tau? Aku sedang menanak puisi untuk kita santap sembari menunggu matahari terbenam nanti. Tapi, jika nanti aku menghampirimu dengan keadaan tak berdaya. Maka, keribaanmulah yang akan menjadi sampan bagiku kesana. Sinta, tolonglah kamu jelaskan dulu pada mereka bahwa cinta itu bukan barang murah yang seenaknya dapat diobral sana-sini.  Bahwa cinta itu harus di bentuk dengan proses panjang dan teliti. Penuh ketabahan dan juga keuletan. Jadi, selama di tengah pulau sana. Bersabarlah kau menungguku, menyuguhkan cinta untukmu. Lalu kita seduh dan nikmati bersama. Sinta oh sinta. Firasatku, diri ini akan jadi abu di atas tunggul. Tapi tak apa, setidaknya aku akan menjadi kayu yang menyilang api untukmu dan menjadi bara yang akan mengantar hangat padamu. Kebawah tidak berakar, keatas tidak berpucuk, dan ditengah dirayapi kumbang. Begitulah ketidak berdayaan ku sekarang menghampirimu. Jadi, sabar du

PUISI; AKU INGIN

Aku ingin kita bercerita dibelakang rumah itu Rumah panggung sederhana berlantai dua Di lantai satu, tempat rak buku kita tata rapi Aku ingin kita berkuasa atas dunia Menceritakan kebodohan sejak bangun tadi pagi Menceritakan malam-malam yang penuh mimpi Atau bahkan, menceritakan jika esok pagi kita tidak lagi melihat matahari Kelak, jika lumbung padi kita sudah habis dan kau dapati simpanan berkurang Ingat lagi saat bahagianya kita dengan panen melimpah Hati riang anak saat bermain disawah kala musim tanam datang Atau, saat senyum merekah dipagi hari melihat padi yang menguning Dik, siapakah yang mau dipinang dengan seikat benih padi dan sebuah alat bajak keluaran jepang? Atau mungkin sebilah pohon bambu untuk membangun rumah panggung? Tapi dik, siapapun itu Aku selalu ingin menuju senja disini dan seperti ini Menikmati sore sambil menyeruput kopi dan membaca buku. Lalu, saat maghrib datang. Bergegas mengajak anak pergi ke surau. Hingga malam datang, kita terlelap dengan tenang. Dik,

PUISI; JALAN SUNYI

Maka ingatlah Ketika malam mengambil ikrar dari akar pohon kelapa Bulan dan bintang menyisir sumpah serapah tetua Bersama cahaya lilin dalam ruang-ruang gelap Sunyi tapi tak pernah sepi Satu persatu lilin mati Dalam benak yang penuh ekspektasi Amukan cinta dan benci Menyisakan kau sendiri Dalam jalan sunyi Lihatlah kawanmu Berlari-lari Tertawa tak henti Mengisi ruang-ruang hati Mengajak berdiri Menyusuri duri jalan ini Seperti bunga Kita tumbuh Mekar harum dan berseri Menghadapi jalan sunyi -Jogja, 08 Agustus 2023