Surat Kaleng untuk Ikatan | Edisi Pelantikan DPD IMM DIY
Malam ini, saya kembali menguatkan hati untuk tetap semangat dalam ber-IMM. Kalimat "mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah" itu saya renungkan kembali. Kalimat yang harus dihafalkan jika ingin menjadi kader Ikatan ini. Kalimat dengan tujuan yang adiluhung dan penuh kesadaran intelektual di dalamnya. Sebuah ideologi organisasi!
Saya membayangkan, bagaimana kalimat itu dilahirkan dan menjadi kesepakatan bersama para pendahulu. Spirit zaman dan etos seperti apa yang ingin mereka lakukan dengan kalimat sakti tersebut. IMM, katanya berdiri untuk menyelamatkan mahasiswa dan umat dari agresifitas penguasa saat itu. Meskipun hari ini, menurut saya kalimat itu sudah tidak lagi ada maknanya. Kalimat yang sering diucapkan tergesa-gesa agar ingatan di kepala tidak cepat hilang. Ideologi, sudah tidak berada lagi di kepala, ia hanya terselip di lidah sebagai sebuah hafalan. Lidah yang suka bersilat kata. Dan hari ini, IMM iti sendiri yang mesti diselamatkan.
Jika dahulu, IMM lahir karena kesadaran ideologis. Mempertahankan nilai-nilai lurur dan kebijaksanaan. Menista ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan kemungkaran. Tapi lihatlah ini, sekarang IMM yang menjunjung tinggi itu semua. Musuh besar hanyalah mitos belaka. Perihal ideologi? Itu cukup ada dalam pikiran kader dasarnya saja. Bagi kanda-kanda, biarlah ideologi itu ditumpuk dalam saku almet merah kebanggaan. Bercampur aduk dengan amplop yang dititipkan oleh penguasa. Namun sialnya, belum tentu semua kader dasar bisa lepas dari genggaman kandanya.
IMM hari ini pengecut! Simbol merah yang melambangkan keberanian itu entah kemana? Kendatipun jas, batik, dan atau almet yang mereka pakai masih merah merona. Tapi jiwa dan kesetiaan mereka tanpaknya sudah mulai memudar. Ibarat baju lama yang lusuh dimakan waktu. Dan waktu, apakah semakin lama ber-IMM, memang harus semakin pudarkah ideologi itu dalam pikiran? Apakah semakin tinggi jenjang kaderisasi dan semakin naik jabatan organisasi, maka harus semakin bisa negosiasi dan kompromi?
Tahun ini, adalah tahun yang sangat mengkhawatirkan bagi Ikatan. Tahun politik yang katanya akan menentukan arah bangsa lima tahun yang akan datang. Bagi sebuah organisasi pergerakan, kekhawatiran itu bisa kita bagi dalam dua sudut pandang.
Pertama, kekhawatiran terhadap semakin besarnya musuh gerakan. Ya, dalam tiap-tiap pesta demokrasi sangat memungkinkan segala bentuk ketidakadilan, kesewang-wenangan, dan kemungkaran berjalan masif. Selain itu, kekhawatiran terhadap para calon pemimpin yang akan dinobatkan sebagai nahkoda nanti. Apakah ia akan membawa kapal ini menuju arah yang jelas. Atau malah akan membuat kapal terombang-ambing dalam gelombang, lalu karam di telan lautan?
Kedua, (semoga saja tidak ada) adalah kekhawatiran agar tidak ketinggalan asiknya pesta. Kekhawatiran yang semacam ini, adalah kekhawatiran yang sangat memalukan. Siapa saja yang merasakan kekhawatiran ini, tentu saja harus diberikan hukuman. Tapi hukuman seperti apa yang bisa diberikan oleh organisasi yang sama sekali tidak menghidupi ini? Tidak ada gaji untuk kerja-kerja yang dilakukan dengan hati disini.
Untuk kekhawatiran yang kedua. Mereka yang berada di dalamnya pasti punya beribu alasan. Katanya, kalau kita tidak berpolitik, kita akan ditinggalkan, dan Ikatan ini akan mati kelaparan. Katanya, ikatan ini harus mendekat dengan penguasa, agar segala program kerja mudah terlaksana. Katanya, ikatan ini harus memberi kesempatan bagi kadernya untuk berpolitik, jika memang itu jalannya. Katanya, ikatan ini harus membuka pikiran, bahwa politik juga merupakan salah satu jalan untuk mencapai tujuan.
Tentu saja, alasan-alasan tersebut adalah bentuk pembenaran dari tindakan yang mereka ambil. Barangkali, sikap saya ini terlalu kaku dan sok tau. Bisa juga, ini adalah kegagalan saya dalam berfikir dan memahami realita dalam sebuah organisasi mahasiswa, bernama IMM. Tapi, setidaknya itulah yang sekarang saya rasakan. Bagi saya, apakah IMM perlu berpolitik? Tentu tidak! IMM tidak boleh ikut campur dalam politik praktis. Bahkan atas nama individu sekalipun!
Bukankah tujuan IMM adalah membentuk akademisi Islam? Bukankah spirit berdirinya IMM adalah spirit intelektual dan ideologis? Bukankah kelahiran IMM berangkat dari ketidaksepakatan atas buruknya kondisi bangsa yang diciptakan penguasa? Lalu, kenapa sikap-sikap kita kadang berusaha masuk dalam ruang politik praktis itu? Justru, bagi saya, IMM sebagai gerakan intelektual dan ideologis mesti menjaga jarak dengan kekuasaan. Dalam kondisi apapun dan situasi bagaimanapun. Jikapun karena sikap itu IMM harus dibubarkan, maka bagi saya pembubaran itu adalah sebuah kehormatan. Sebab masih ada nilai-nilai baik yang berani diperjuangkan.
Tulisan ini, saya buat karena saya sudah resah. Resah yang tidak berkesudahan dan meluap dalam perasaan. Bukankah segala keresahan lebih baik untuk dituangkan dari pada disimpan? Saya hanya mengkhawatirkan, jika para mahasiswa sebagai kaum intelek ataupun ideolog telah masuk dalam kekuasaan. Siapa lagi yang akan ditakutkan oleh penguasa kita nanti? Kemana lagi rakyat rakyat kecil akan menitipkan aspirasinya? Bukankah kita telah mempelajari ilmu filsafat, ilmu politik, ilmu sosial, dan ilmu-ilmu lainnya. Lalu, apakah ilmu itu akan kita gunakan untuk melayani kekuasaan? Jika iya, tolong jelasakan kepada saya dengan pelan-pelan agar saya masukkan dalam benak kepala ini.
Ah, saya terlalu ideal memandang ikatan kita ini, teralu imajinatif. Bukankah sedari berdinamika di ikatan ini kita juga sudah tidak ideal? Praktik-praktik kekuasaan, manipulasi, dan kecurangan sudah menjadi bagian dalam diri kita sendiri di Ikatan ini. Menjadi moral force, oposisi kekuasaan, dan penyambung lidah rakyat hanyalah lagu lama yang sering kita putar saat penerimaan mahasiswa baru. Setelahnya, kita kembali mencurangi diri sendiri, menjilat ludah sendiri, dan mengencingi ideologi kita lagi. Sudahlah, biarkan saya istighfar sejenak.
---
Hari ini, DPD IMM DIY menggelar pelantikan. Nahkoda berserta awak kapalnya mengucapkan ikrar dihadapan Al-Quran. Mereka akan membawa kapal ini untuk segera berlayar. Semoga mereka yang diberikan amanah bisa menjadi panutan. Menjadi akademisi Islam yang setia pada cita-cita dan moral ikatan. Tidak terlena jabatan, tidak ikut-ikutan politik praktis kenegaraan, dan tidak memimpin dengan ugal-ugalan!
Dan saya? Barangkali juga berlebihan. Bisa saja ini menjadi senjata makan tuan. Senjata yang akan menodong harga diri saya di masa depan. Kemarin, saya baru saja berkontestasi dalam musyawarah tingkatan cabang. Sedikit banyaknya saya semakin tau seluk beluk dan lika-liku ikatan. Memang betul, agaknya hanya ikatan level komsiatlah (setidaknya ini pengalaman yang saya rasakan saat berproses di komisariat) yang masih sanggup memikul ideologi itu. Selebihnya, saya sedikit ragu.
Akhiran, sebab saya adalah orang yang juga berada dalam ikatan ini. Biarlah tulisan ini menjadi surat kaleng. Surat yang bisa saja saya terima dan baca lagi suatu saat nanti, menegur saya di masa yang akan datang. Hari kemarin adalah pelajaran, hari ini adalah keberpihakan, dan hari esok adalah tantangan. Tabik!
Ramadhanur Putra
Komentar
Posting Komentar