My Father, dia telah mengajari aku cara berlari. Dengan ikat pinggang menjuntai di tangan kiri, ia latih sepasang kaki ini untuk tetap melaju kencang.
Tidak, dia sebenarnya tidak mengajariku cara berlali. Tapi sedang mengejarku yang saat itu tidak mau mandi sore usai bermain dengan teman-teman.
Sore itu, dengan kecepatan tinggi aku menjajaki jalan cor di dusun dengan bertelanjang kaki. Sebab, kemarahan ayah memuncak dan aku tak sempat untuk memakai alas kaki.
Bau keringat yang apek, badan yang lusuh usai bermain bola, dan muka yang tak jelas lagi rupanya. Ayah menyuruhku mandi.
Setalah dipikir-pikir, aku baru menyadari. Sejatinya ayah memang mendidikku untuk menjadi atlit lari. Lari dan terus melaju kencang untuk menerjang kehidupan.
Barangkali, ia sadar. Bahwa umurnya sudah tidak matang lagi untuk menjelajahi alam semesta ini. Maka ia titahkan kehormatan itu pada putera mahkotanya.
Aku tau, sebenarnya ia sedang menaruh harapan. Pada anak lelakinya, ia titipkan apa yang belum sempat ia tuntaskan.
Begitu juga dengan ibu dan nenek, mereka selalu menyelipkan pesan dalam jawaban yang pernah aku tanyakan.
"Bu, Nek, kenapa di telapak kaki ku ini, ada tahi lalat? Pertanda apakah itu?" Tanyaku waktu masih belia.
"Artinya, kamu harus menapaki dunia ini, Nak!" Ungkap mereka.
Maka, tepat sebelum aku memutuskan untuk pergi ke tanah seberang. Aku sampaikan pada ayah. Tentang niatku, membawanya pergi kemana saja aku akan pergi. Dalam sebuah kaos, yang akan aku bawa kemana saja kaki ini berlari!
Jogja, 27 Juli 2023
Komentar
Posting Komentar